Sampai dengan umurku yang menginjak 28 tahun lebih 3 bulan ini, aku baru mencoba dan belajar untuk menahan diri. Menahan dari banyak keinginan yang seringnya muncul tanpa punya pertimbangan yang rasional. Kurasa mulai awal tahun sampai dengan bulan Oktober ini, satu-satunya pencapaianku adalah berhasil mencatat semua pengeluaranku.
Mencatat mulai dari parkir, makan, rokok, atau hanya sekedar sumbangan ke pengamen. Dari situ aku seharusnya sudah bisa membaca pola apa yang harus bisa aku perbaiki. Salah satu yang terlihat adalah tidak adanya pemasukan dari usahaku sendiri, semua uang berasal dari ibuku. Memang menyedihkan, hal yang tidak wajar terjadi pada laki-laki dewasa umur 28 tahun sepertiku. Mungkin lebih pantas disebut memalukan.
Banyak sekali sebenarnya refleksi yang terjadi dalam pikiranku, seharusnya aku bisa mulai untuk menuliskannya. Seperti suatu saat ketika aku naik motor menuju dari Malang ke Blitar, aku terbersit dengan pertanyaan besar, apa yang sebenarnya terjadi denganku, sejak lepas dari SMK dan kemudian keluar dari pesantren setelah usai tahun pertama di universitas hidupku semakin tidak karuan. Pengeluaran kacau, kuliah amburadul, tidak ada prestasi apapun.
Hingga saat ini aku merasa apakah karena kontrol eksternal seperti lingkungan yang kemudian hilang dan lepas dariku. Menjadikan aku seperti burung yang sejak lahir di sangkar. Kemudian, ketika besar memaksa kabur tapi malah asing dengan dunia bebas itu.
Aku kacau sekali saat ini, baik secara mental ataupun materi. Lingkaran pertemanan yang hilang, tidak lagi terikat dengan organisasi, akhirnya aku nyaris terputus dengan dunia sosial. Aku menjadi seorang Hikikomori. Hanya menjadi beban orang tua, ibuku seorang.
Sulit rasanya kemudian ketika aku harus berfikir positif tentang diriku sendiri. Misalkan, ketika ditanya apakah kelebihanku yang bisa aku tawarkan, keseorang teman atau penerima kerja, nyaris aku akan gagap untuk menjawabnya. Karena kemurungan yang berkepanjangan ini, reduksi dari pikiran negatif seperti menguasaiku. Semua ketidak-becusanku muncul menjadi sesuatu yang konkret.
Mungkin karena beberapa alasan itu aku menjadi kesulitan untuk merasa atau bahkan mengakui aku adalah manusia normal. Aku menjadi lebih lega ketika aku harus menerima dan mengakui sepertinya aku memang tidak normal, tapi apakah ini akan malah mempertegas rengekanku selama ini?, apa bukannya malah menjadikan kondisi yang rapuh ini semakin lembek?, entahlah aku juga tidak tahu.
Malang, 20 Oktober 2020


Posting Komentar
Posting Komentar